• SMP NEGERI 3 CISAUK
  • CERDAS BERPRESTASI

HAMKA (1908 - 1981)

Pengarang Hamka terkenal sebagai pengarang novel dan cerita pendek yang berorientasi pada Islam. Nama lengkapnya adalah Haji Abdul Malik Karim Amarullah gelar Datuk Indomo, tetapi lebih dikenal dengan akronimnya, Hamka. Novelnya, Tenggelamnya Kapal van der Wijck, sangat terkenal. Dia pernah digelari "orang alim pengarang roman". Hamka lahir 16 Februari 1908 di kampung Molek, Sungai Batang, Maninjau (Sumatra Barat) dan meninggal dunia pada tanggal 24 Juli 1981 di Jakarta. Ayahnya, Dr. Haji Abdul Karim Amarullah, seorang ulama pembaharu Islam terkemuka di Minangkabau. Pada zaman pendudukan Jepang ayah Hamka dengan pendirian yang kuat menentang penyembahan kepada Maharaja Jepang yang dipaksakan terhadap orang Indonesia karena perbuatan itu dianggapnya sebagai suatu perbuatan dosa bagi orang Islam sejati.

Buya Hamka yang bergelar Tuanku Syaikh, gelar pusaka yang diberikan ninik mamak dan Majelis Alim-Ulama negeri Sungai Batang, Tanjung Sani, 12 Rabi'ul Akhir 1386 H/31 Juli 1966 M, pernah mendapatkan anugerah kehormatan Doctor Honoris Causa dari Universitas al-Azhar, 1958, Doktor Honoris Causa dari Universitas Kebangsaan Malaysia, 1974, dan gelar Pangeran Wiroguno dari pemerintah Indonesia.

Ketika berumur 16 tahun, Hamka meninggalkan Minangkabau untuk belajar kepada H.O.S. Tjokroaminoto di Surabaya. Tahun 1927 ia pergi naik haji ke Mekah dan melawat ke beberapa negara Arab. Sekembalinya ke Indonesia, ia tinggal di Deli (Sumatra Timur), bekerja sebagai guru agama di Padang, turut memimpin pergerakan Muhamadiyah. Setelah itu, ia pergi ke Makassar, tetapi beberapa tahun kemudian kembali ke Medan. Di Medan ia bekerja sebagai editor majalah mingguan Islam Pedoman Masjarakat dan menceburkan diri ke lapangan kesusastraan dengan menulis novel berseri dan cerita pendek. Dalam tempo lima tahun (1935—1940) ia menghasilkan lima buah novel yang populer, bukan hanya di Indonesia, melainkan juga di Malaysia. Oleh karena itu, kelima novel itu dicetak ulang di Malaysia pada tahun 1960-an.

Dia mengikuti pendidikan SD (sampai kelas dua), Pendidikan Agama dan Bahasa Arab di Sumatra Thawalib, serta Parabek (Bukittinggi). Sejak tahun 1924 ia belajar kepada H.O.S. Tjokroaminoto di Surabaya. Hamka pernah bekerja sebagai guru Agama pada tahun 1927 di Perkebunan Tebing Tinggi, Medan dan guru agama di Padang Panjang pada tahun 1929. Hamka juga bekerja sebagai dosen di Universitas Islam, Jakarta dan Universitas Muhammadiyah, Padang Panjang (1957—1958). Setelah itu, beliau diangkat menjadi rektor Perguruan Tinggi Islam, Jakarta dan Universitas Profesor Mustopo, Jakarta (1951—1960). Beliau juga menjabat Pegawai Tinggi Agama, tetapi meletakkan jabatan itu ketika Sukarno memintanya untuk memilih antara menjadi pegawai negeri atau aktif dalam partai Majlis Syura Muslimin Indonesia (Masyumi). Dia juga pernah menjadi pemimpin majalah Pedoman Masjarakat(1936—1942), Gema Islam, dan Pandji Masjarakat, serta sebagai Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (1977—1981). Hamka juga pernah memimpin majalah Mimbar Agama (Departemen Agama), 1950—1953.

Hamka tidak menerima pendidikan Barat. Dia tidak dapat berbahasa Belanda atau Inggris. Bakat seninya berkembang karena pengaruh kesusastraan Arab modern. Pengaruh tersebut terlihat dalam novel pertamanya, Di bawah Lindungan Kabah (1938), suatu kisah tentang pemuda yang karena cintanya gagal (karena kuasa adat), mencari perlindungan di dekat Kabah, dan akhirnya pemuda ini meninggal di sana. Dalam novel tersebut banyak diselipkan pikiran-pikiran tinggi, ajaran keislaman, dan sindiran terhadap adat masyarakat yang menurutnya berlawanan dengan ajaran Islam. Hamka seorang pengembara. Dia bukan saja pengembara yang lahir dan belajar dari satu tempat ke tempat lain, melainkan juga pengembara dalam pikiran, yang mempelajari ilmu pengetahuan dari negeri-negeri yang jauh. Sebagian besar wilayah Indonesia telah dijelajahinya.

Dengan pengetahuannya yang dalam tentang bahasa Arab, ia menyelami hasil-hasil pikiran pujangga Arab yang ditulis 500—800 tahun yang lalu. Dia membaca karangan pujangga Mesir seperti Musthafa Luthfi al-Manfaluthi, Musthafa Sadik Rafi'ij, Zaki Mubarak, dan Husain Haikal Pasya. Selain itu, ia juga membaca karangan pujangga Eropa, terutama pujangga Perancis, Pierre Loti, dan Bernardin de St. Pierre yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Arab.

Pengarang yang paling dikaguminya ialah Musthafa Luthfi Al-Manfaluthi(1876—1924) yang menerbitkan beberapa karya asli dan saduran dari karya Prancis, seperti Paul et Virginie dan Cyrano de Bergerac. Hamka amat kuat terpengaruh olehnya sehingga novelnya, Tenggelamnya Kapal van der Wijck, (1939) banyak persamaannya dengan saduran Manfaluthi, yaitu Majdulin yang disadur dari karya berbahasa Prancis Sous les Tilleuls (Di Bawah Naungan Pohon Tila) karangan Alphonse Karr (1808--1890). Majdulin diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh A.S. Alatas dengan judul Magdalena (1963). Karyanya yang lain adalah (1) Di Bawah Lindungan Kaabah (novel, 1938), 2) Merantau ke Deli (novel, 1938), (3) Karena Fitnah (novel, 1938), (4) Tuan Direktur (novel, 1939), (5) Keadilan Ilahi (novel, 1941), (6) Di dalam Lembah Kehidupan (kumpulan cerpen, 1941), (7) Dijemput Mamaknya (novel, 1949), (8) Menunggu Beduk Berbunyi (novel, 1950), (9) Kenang-kenangan Hidup I-IV (otobiografi, 1951, 1952), (10) Lembah Nikmat (novel, 1959), (11) Cemburu (novel, 1961), (12) Cermin Penghidupan (kumpulan cerpen, 1962), dan (13) Ayahku (biografi, 1967).

Selain itu, Hamka juga banyak menulis buku yang bersifat keagamaan, seperti Tafsir Al-Azhar (5 jilid), Kedudukan Perempuan dalam Islam (1973), Pandangan Hidup Muslim (1960), dan Hak Asasi Manusia dipandang dari segi Islam (1968). Tulisannya tidak hanya berkisar tentang agama dan berbentuk karya sastra, tetapi ada beberapa tulisannya yang mengungkapkan bagaimana menulis sebuah cerita. Pandangannya tentang perbedaan cerita lama dan baru dikemukakannya dalam tulisannya "Mengarang Roman" dalam Pedoman Masyarakat Tahun IV, No. 51 halaman 1033—1034.

Tentang proses kreatifnya, Hamka menyatakan sebagai berikut. Bekal saya dalam mengarang adalah dari dua aliran, pertama aliran kesusastraan dari desa saya sendiri, dari Maninjau yang dikelilingi Bukit Barisan, dari Ujung Jungut dan Ujung Tanjung, dari Rakuk Tanjung Balat, dari biduk yang berlayar dari teluk ke teluk, dari tepian ke tepian, dari nyanyian saya ketika menggerakkan padi di sawah menurutkan ibu ketika badan masih kecil. Setelah itu, saya dididik oleh ayah menurut didikan surau. Sedikit demi sedikit saya sempat melihat buah tangan pujangga Arab yang lama dan yang baru, dari Abdul Atahiyah dan Asma'ij, sejak Ibnu Chaldun sampai Syaqai, Said Musthafa Shadiq Arrafiij, Said Musthafa Luthfi Almanfaluthi, Jibran kahlil Jibran, dan Amin Raihami. Saya mencoba mengarang cerita pendek di samping menulis artikel agama maka terbitlah Laila Majnun (1923, Balai Pustaka), Di Bawah Lindungan Ka'bah (1938, Balai Pustaka), Bunda Kandung, Disuruh Meminta Ampun, Malam Sekaten, dan lain-lain.

Tentang tujuan yang diharapkannya dalam mengarang novel, Hamka menyatakan sebagai berikut. Sebagian besar karangannya ditujukan kepada almastalul a'la, mencari ketinggian budi pekerti, mengkritik perbuatan atau kejaian yang pincang dalam pemandangan masyarakat dan agama. Oleh sebab itu, pernah seorang ahli bahasa dan roman dari Balai Pustaka mengirim surat kepada saya dan menyatakan bahwa di dalam cerita-cerita yang saya buat itu nyata sekali jiwa keislamannya, tetapi halus maknanya sehingga Balai Pustaka yang tidak suka menerbitkan cerita yang terlalu berbau agama, walau agama apa pun, tidak dapat menolak karangan yang telah saya kirimkan.

Tentang pandangannya terhadap kritik novel Tenggelamnya Kapal van der Wijck, baik yang positif maupun yang negatif, Hamka menyatakan bahwa hal itu menandakan bahwa buah tangan saya mendapat perhatian dan dibaca meskipun kadang-kadang saya berhak hidup dalam kesusastraan Indonesia. Oleh sebab itu, saya akan berusaha lebih giat dari yang sudah menciptakan cerita-cerita yang baru, dengan tidak melupakan pujian yang setinggi langit, atau hinaan yang hendak menjatuhkan, atau cacat yang hendak diperbaiki.

Ajip Rosidi dalam Ikhtisar Sejarah Sastra Indonesia menyatakan bahwa kesedihan sebagai motif penulisan cerpen menjadi bahan yang produktif buat Hamka. Dia mempergunakan cerpen bukan sebagai penghibur hati, melainkan sebagai usaha untuk menggugah rasa sedih pembaca. Dalam kata persembahannya Di dalam Lembah Kehidupan Hamka menyatakan bahwa cerpennya itu sebagai kumpulan air mata, kesedihan, dan rintihan yang diderita oleh segolongan manusia di atas dunia ini. Cerpennya yang berjudul "Encik Utik" melukiskan kesepian dan impian seorang gadis yang sampai rambutnya putih semua ia belum juga bersuami sehingga dengan diam-diam dibelinya pakaian pengantin dan dipakainya secara sembunyi-sembunyi di kamarnya.

A. Teeuw dalam Pokok dan Tokoh Kesusastraan Indonesia Baru menyatakan bahwa ia menyebut Hamka sebagai pengarang seri cerita roman, banyak sekali karangannya pada masa sebelum dan sesudah perang. Dalam buku-bukunya Hamka insaf bahwa ia adalah pendidik rakyat, juru-ibarat, dan pak guru. Keadaan-keadaan yang buruk dalam masyarakat menjadi pokok lukisan bagi cerita-ceritanya yang sederhana dan yang langsung dapat dipahami. Bukunya, Tuan Direktur (1939), belum dapat digolongkan ke dalam cerita detektif, tetapi dalam banyak hal menarik hati. H.B. Jassin dalam Kesusastraan Indonesia Modern dalam Kritik dan Esei I menyatakan bahwa bahasa Hamka sederhana, tetapi berjiwa. Karangannya penuh kekayaan batin, penuh perbuatan yang membayangkan keluhuran budi tokoh-tokohnya. Dalam seluruh karangannya ada sfeer, ada suasana.

H.B. Jassin menegaskan bahwa keindahan suatu karangan tidak terletak pada banyaknya kejadian yang diceritakan, tetapi pada banyaknya kekayaan pikiran dan perasaan yang terlukis di dalamnya. Bukan pikiran dan perasaan yang dibuat-buat, melainkan pikiran dan perasaan yang timbul dari hati benar-benar, yang terasa kejujurannya oleh pembaca. Keindahan karangan itu tidak terletak dalam bahasa yang sulit dan pelik, tetapi dalam isinya sebab bahasa hanyalah ibarat tubuh dan pakaian, sedangkan isinya ialah jiwa.

Sumber: http://ensiklopedia.kemdikbud.go.id/sastra/artikel/Hamka | Ensiklopedia Sastra Indonesia - Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia

Tulisan Lainnya
MENAK JINGGA

Cerita ini berfokus pada Damarwulan. Ia seorang pemuda gagah dan tampan. Damarwulan sekarang telah menjadi menantu Patih Logender, seorang Patih kerajaan Majapahit. Anjasmara adalah nam

20/11/2022 07:00 - Oleh Admin - Dilihat 3875 kali
R.A KARTINI

Raden Adjeng Kartini (lahir di Jepara, Hindia Belanda, 21 April 1879 – meninggal di Rembang, Hindia Belanda, 17 September 1904 pada umur 25 tahun) atau sebenarnya lebih tepat dise

21/04/2021 01:28 - Oleh Admin - Dilihat 20903 kali
CHAIRIL ANWAR (1922 - 1949)

Chairil Anwar terkenal sebagai penyair yang hidup dan matinya tidak dapat dilepaskan dari puisi Indonesia modern sehingga ia menjadi pelopor Angkatan 45 dalam Sastra Indonesia. Dia lahi

27/03/2021 07:44 - Oleh El-Kuuninjaan - Dilihat 19629 kali